Cyberbullying dan Kurikulum PAI: Refleksi dari Kelas dan Serial "Adolescence"

 

Kemarin saat mengajar mata kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, kami berdiskusi hangat tentang pentingnya memasukkan isu-isu kontekstual ke dalam kurikulum. Topiknya mengalir ke satu isu yang sangat dekat dengan keseharian mahasiswa: cyberbullying. Bagaimana nilai-nilai Islam bisa merespons isu kontemporer seperti Cyberbullying ini.

Saya memulai dengan pertanyaan sederhana, “Kalau kalian melihat teman dibully di medsos, apa yang kalian lakukan?” Jawaban mereka beragam. Ada yang bilang akan mendiamkan karena takut ikut kena, ada yang mencoba menasihati lewat DM, bahkan ada yang mengaku pernah mengalami sendiri. Diskusi ini jadi pintu masuk yang sangat relevan untuk membahas bagaimana nilai-nilai Islam harus hadir merespons persoalan kontemporer.

Kami ngobrolin tentang konsep amar ma’ruf nahi munkar, lalu nyambung ke pentingnya menjaga martabat orang lain (hifdz al-‘ird), dan gimana sikap sabar serta tabayyun bisa jadi tameng utama di dunia digital yang serba cepat dan berisik itu.

Buat saya pribadi, kalau kurikulum PAI nggak menyentuh hal-hal seperti ini, berarti dia sedang kehilangan ruhnya. Karena sejatinya, Pendidikan Agama Islam itu harus jadi petunjuk yang dekat, nyata, dan relevan dengan dunia anak-anak zaman sekarang.

Diskusi ini mengingatkan saya pada sebuah serial Netflix berjudul Adolescence.  Saat membaca majalah Tempo, saya mendapati ulasan tentang serial ini, dan memutuskan untuk menontonnya.

Serial ini adalah drama kriminal psikologis asal Inggris yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025. Menariknya, setiap episodenya direkam dalam sekali jalan tanpa potongan, jadi penonton seperti diajak ikut menyelami kejadian demi kejadian secara langsung, kayak lagi berdiri di tengah-tengahnya, ikut tegang, ikut bingung, ikut sedih. Rasanya real banget, dan itu yang bikin kisahnya makin ngena di hati.

Meski Adolescence tidak didasarkan pada satu kasus nyata, tetapi terinspirasi oleh tren kekerasan remaja yang mengkhawatirkan, termasuk kasus-kasus penikaman oleh remaja di Inggris dan Korea Selatan. Serial ini menyoroti bagaimana media sosial dapat memengaruhi perilaku remaja, terutama dalam konteks tekanan sosial dan ekspektasi gender.

Nggak heran sih kalau serial ini banjir pujian dari kritikus. Adolescence jadi salah satu drama Inggris paling laris di Netflix, ditonton lebih dari 134 juta kali cuma dalam tujuh minggu. Tapi yang lebih penting dari angka itu, serial ini berhasil memantik obrolan serius tentang kekerasan berbasis gender dan betapa besarnya pengaruh media sosial dalam membentuk pola pikir dan perilaku remaja hari ini.

Serial ini membuka luka besar yang mungkin selama ini kita abaikan: tentang anak-anak yang (terlalu) cepat tumbuh, tentang dunia digital yang membentuk karakter tanpa arahan, dan tentang tragedi mengerikan yang seharusnya bisa dicegah.

Sekilas, kita bisa buru-buru menyimpulkan: ini soal kekerasan. Tapi saat kisahnya dikupas pelan-pelan, kita justru diajak menyelami realitas psikologis remaja yang hidup dalam tekanan, kesepian, dan terpapar konten penuh kebencian di media sosial (cyberbullying). Serial terbatas Adolescence di Netflix bukan sekadar tontonan kriminal biasa. Ia adalah semacam tamparan halus, -dan kadang keras- bagi siapa saja yang peduli pada dunia anak dan remaja.

Sekilas ulasan Adolescence

Ceritanya berpusat pada Jamie, anak laki-laki berusia 13 tahun yang didakwa membunuh teman sekolahnya, Katie Leonard. Tapi serial ini bukan hanya tentang ‘siapa pelakunya’, melainkan tentang bagaimana sebuah tragedi bisa tumbuh diam-diam di balik layar kehidupan yang tampak biasa saja.

Adolescence berhasil menangkap fragmen-fragmen realitas remaja yang selama ini sering kita anggap remeh. Dunia digital, tekanan sosial, keluarga yang hampa secara emosional, hingga bias gender yang mengakar. Semua diramu tanpa menggurui, tapi justru membuat kita merenung: sudahkah kita benar-benar hadir untuk anak-anak kita? Atau kita hanya sibuk mengurung mereka dalam ekspektasi dan perintah saja?

Siapa sangka, di balik tragedi itu, ternyata ada satu hal yang kelihatan sepele tapi dampaknya luar biasa: emoji.

Yup, emoji-emoji yang sering banget dipakai anak-anak seusia Jamie di Instagram, jadi salah satu pemicu ledakan emosinya. Hal-hal kecil yang tampak lucu dan biasa, ternyata bisa membentuk persepsi, bahkan jadi pemantik tindakan, apalagi kalau nggak ada yang membimbing mereka untuk memahami maknanya secara utuh.

Di episode kedua, ada satu momen yang cukup ngena. Luke Bascombe, detektif yang menangani kasus Jamie, yang ternyata juga ayah dari teman sekolah Jamie bernama Adam datang ke sekolah anaknya. Di sana, Adam bantu ayahnya memahami sesuatu yang selama ini mungkin dianggap remeh oleh orang dewasa, si emoji.

Dengan polos tapi tajam, Adam menjelaskan bahwa setiap emoji punya makna, bukan sekadar simbol lucu. Emoji yang dikirim Katie ke profil Instagram Jamie ternyata menyiratkan sesuatu yang jahat, bahkan menjurus ke perundungan. Dan Jamie yang merasa dirinya diremehkan dan dibully oleh Katie, akhirnya memutuskan untuk membunuh Katie dengan banyak tusukan pisau.

-------------------------

Buat anak-anak seusia mereka, pesan bullying itu nggak harus lewat kata-kata. Emoji saja bisa jadi senjata yang menyakitkan. Dan sayangnya, banyak dari kita yang nggak pernah benar-benar melihat itu sebagai alarm.

Serial ini membuat kita berhenti sejenak dan melihat lebih dalam soal kekerasan berbasis gender, peran media sosial, dan betapa rentannya anak-anak di masa transisi menuju remaja.

Bahwa di balik layar HP remaja kita, mungkin ada kesepian yang tidak mereka tahu cara menyampaikannya. Bahwa di balik emosi yang meledak, ada luka yang tidak pernah sempat dibalut. Dan bahwa pendidikan, termasuk Pendidikan Agama Islam, tidak boleh lagi hanya bicara tentang yang ideal, tapi juga tentang yang nyata. Tidak boleh berhenti pada doktrin, hafalan, atau sekadar materi fiqih dan akidah saja.

Kenapa Serial Ini Relevan dengan Pendidikan di Indonesia?

Indonesia sedang mengalami krisis yang serupa. Bullying, kekerasan seksual, penyimpangan perilaku, dan kecanduan media sosial menjadi isu nyata di kalangan pelajar. Bahkan, data Komnas Perlindungan Anak dan KPAI menunjukkan tren kekerasan yang meningkat di lingkungan sekolah, banyak di antaranya bermula dari interaksi digital.

Tapi mari jujur, seberapa banyak guru PAI yang membicarakan soal toxic masculinity, cyberbullying, atau literasi digital dari perspektif Islam? Kurikulum Pendidikan Agama Islam masih kaku, jauh dari dunia nyata remaja, dan tidak memberikan ruang refleksi sosial yang dalam.

Saatnya PAI Jadi Cermin, Bukan Sekadar Ceramah

Kurikulum PAI seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa untuk bertanya dan berpikir kritis. Mengapa remaja bisa begitu kejam? Apa makna amar ma’ruf nahi munkar di dunia digital? Bagaimana Islam memandang kehormatan manusia dalam interaksi media sosial?

Adolescence mengajarkan bahwa ketika anak tidak memiliki nilai yang tertanam kuat, ketika keluarga dan sekolah gagal jadi ruang tumbuh yang sehat, maka dunia digital akan dengan senang hati mengambil alih. Kita bisa punya anak-anak pintar, rajin, tapi kosong secara spiritual dan sosial.

Menuju Kurikulum PAI yang Humanis dan Kontekstual

Maka, pengembangan kurikulum PAI di Indonesia perlu bergerak dari content-based menjadi value-based yang kontekstual. Kurikulum harus membuka ruang diskusi tentang realitas sosial, memberi siswa kemampuan “ijtihad” untuk merespons zaman dengan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. PAI bukan sekadar mata pelajaran, tapi proses pembentukan manusia yang sadar, peduli, dan bijak.

Serial Adolescence seharusnya menjadi cermin bagi kita. Bukan untuk ditakuti, tapi untuk direspon. Karena tragedi yang menimpa Jamie dan Katie bisa terjadi di mana saja, termasuk di sekolah-sekolah kita, jika pendidikan terus menutup mata terhadap kenyataan yang sesungguhnya.

Cyberbullying dan Kurikulum PAI: Refleksi dari Kelas dan Serial "Adolescence"

  Kemarin saat mengajar mata kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam , kami berdiskusi hangat tentang pentingnya memasukkan isu...