Antologi Rasa: Tentang cinta diam-diam, dan drama kepala sendiri


Biodata Buku

Judul                                : Antologi Rasa
Penulis                             : Ika Natassa
Penerbit                           : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                   : 2011
Jumlah Halaman            : 280 halaman
ISBN                                : 9789792292714
Genre                               : Fiksi, Romance, Urban Drama

 ---------------------------------------------------------------------------- 

Saya baru selesai baca Antologi Rasa-nya Ika Natassa, iya, novel yang udah terbit dari 2011 itu. Tapi, percaya nggak percaya, rasanya masih ngena banget buat dibaca di 2025. Mungkin karena “rasa”, kapan waktunya dan di mana pun lokasinya akan tetap sama saja sebenarnya.

Tokoh utama kita di sini, Keara, perempuan ambisius, tangguh, dan sukses sebagai banker. Tapi ada satu hal yang nggak bisa dia handle: perasaannya sendiri. Dia jatuh cinta sama sahabatnya, Ruly, selama empat tahun, melewatkan Haris yang sangat perhatian, Panji si player yang akhirnya sayang, dan banyak daftar nama lainnya. Sayangnya, dia cuma bisa menyaksikan cinta itu tumbuh sendirian. Ruly? Otaknya sudah terisi penuh oleh Denise, sahabat mereka juga.

Buat saya, ini bukan cuma soal cinta bertepuk sebelah tangan. Ini cerita tentang “manusia-manusia” yang punya seseorang di kepala yang nggak bisa dia lepaskan. Yang lebih suka menuliskan kemungkinan dalam batin, daripada menyuarakannya dalam tindakan.

Emosi dalam Dunia Kerja Zaman Now

Yang menarik, setting ceritanya bukan kampus atau SMA, tapi dunia kerja profesional -banker lagi, yang katanya dingin dan sibuk cari cuan. Tapi di balik blazer rapi dan coffee-to-go itu, ada perasaan yang ruwet. Lelah kerja, tapi tetap keukeuh nunggu pesan dari seseorang. Sakit hati, tapi besok pagi tetap on time meeting.

Kita jadi sadar, bahkan orang-orang “sukses” pun bisa rapuh. Bahkan di era sekarang, dunia kerja masih jadi tempat yang penuh emotional labor. Kita dituntut perform, sambil berjuang menata emosi sendiri.

Cinta Diam-Diam dan Perspektif Perempuan Modern

Kalau Keara hidup di zaman sekarang, mungkin dia bakal bikin podcast tentang self-love dan red flag. Tapi yang bikin Saya simpati, Keara bukan perempuan lemah yang cuma nunggu. Dia tahu dia punya pilihan, bahkan dia udah pacaran sama cowok lain juga. Tapi tetap aja, hatinya balik ke Ruly. Dan itu nggak salah.

Keara mencerminkan banyak perempuan modern hari ini, tahu apa yang mereka mau, tahu apa yang harusnya mereka tinggalkan, tapi masih tertahan di “rasa yang belum selesai”. Bukan karena bodoh, tapi karena... ya, kita juga manusia. Yang ingin dipilih, tanpa harus meminta.

Monolog Batin & Overthinker Era Sekarang

Ika Natassa jago banget nulis monolog batin. Bercerita dari sudut pandang masing-masing tokoh. Dan buat kita yang sering overthinking, bagian ini tuh kayak ngebaca isi kepala sendiri. Kadang kita ketawa, kadang kesel, kadang pengin nyamperin tokohnya dan bilang, “Ya udah bilang aja, nggak sih!”.

Di era sekarang, monolog batin itu banyak contoh nyatanya. Sebagai istri, sebagai ibu, kadang kita kira kita udah kebal sama drama perasaan. Tapi nyatanya, kepala tetap bisa gaduh -bukan karena cinta yang nggak kesampaian, tapi karena rasa-rasa kecil yang kita tahan terus. Misalnya saat anak-anak udah tidur, dan kita duduk sendiri di meja kerja atau di samping tempat tidur mereka, terus mikir: “Apa aku masih punya mimpi pribadi? Atau semuanya udah jadi tentang mereka?”

Overthinking-nya nggak selalu soal orang lain, tapi kadang soal versi diri sendiri yang kayaknya lama nggak kita temui. Dan kayak Keara, kita juga diam, bukan karena nggak tahu harus ngapain, tapi karena nggak ada ruang buat suara itu keluar. Jadi kita simpan baik-baik, dalam bentuk monolog yang cuma bisa kita dengar sendiri.

Cinta di Era BBM vs Era Ghosting

Yang bikin Antologi Rasa terasa “vintage” adalah kemunculan BBM -Blackberry Messenger. Tapi rasa-rasanya, dinamika percintaan di dalamnya masih banget relate. Bedanya, kalau dulu takut centang D ganti R, sekarang takut read tapi nggak reply -atau malah seen dan tarik pesan alias ghosting.

Dan ya, rasanya tetap sakit. Karena ternyata, apa pun medianya, cinta yang nggak tuntas akan selalu terasa sama pedihnya.

Bahasa Inggris yang “Overwhelming” bagi Sebagian Pembaca

Satu hal yang cukup banyak dikomentari (dan Saya juga ngerasain di awal), adalah penggunaan Bahasa Inggris dalam narasi dan dialog yang cukup dominan. Buat pembaca yang belum terbiasa, ini bisa jadi penghalang buat menikmati cerita. Rasanya kayak “diusir halus” dari suasana emosional karena harus mikir: “Ini maksudnya apa, ya?”

Tapi di sisi lain, mungkin ini memang ciri khas Ika Natassa -menggambarkan kelas urban, kosmopolitan, yang kesehariannya campur aduk antara Bahasa Indonesia dan Inggris. Dan kadang penggambaran suasana dan dialog lebih “ngena” kalau pakai bahasa Inggris itu. Kalau kamu tipe pembaca yang santai dan bisa skip-skip sambil memahami konteks, mungkin ini bukan masalah besar. Tapi kalau kamu pembaca yang butuh meresapi setiap kalimat, kamu akan merasa sedikit kehilangan rasa karena terlalu banyak terjemahan yang harus dilakukan.

Akhir kata, buat saya Antologi Rasa bukan novel romance biasa. Antologi Rasa adalah novel tentang diam yang berisik. Tentang perasaan yang dipelihara di kepala, dan keberanian yang tak pernah muncul di lisan. Mungkin kamu akan marah ke tokohnya, mungkin kamu akan frustrasi, tapi mungkin juga kamu akan melihat sedikit dirimu di sana.

Dan seperti Keara, mungkin kita semua sedang belajar menerima satu hal: bahwa tidak semua rasa harus memiliki ujung, tapi semua rasa pantas untuk diakui.

.....

SETENGAH TAHUN, SETENGAH JALAN

Refleksi Tengah Tahun Seorang Ibu, Dosen, dan Perempuan Biasa yang Masih Belajar

Hy, everyone, welcome to July.

Rasanya baru kemarin ya, kita merayakan euforia tahun baru, sibuk bikin resolusi awal tahun, dan nulis quote harapan-harapan manis di awal Januari. Dan tiba-tiba, taraaa.... setengah tahun sudah kelar aja. Saat kita sibuk “bertahan hidup”, waktu ternyata nggak cuma bergulir, tapi melesat cepat. 

Ibaratnya kita naik sepeda melewati turunan, kita fokus menyeimbangkan diri, menjaga agar nggak jatuh, sampai lupa menikmati pemandangan sekitar. Dan Juli, datang sebagai alarm. “Sudah setengah jalan, mau lanjut kemana?”.

Kalau ditanya, “Apa yang sudah terjadi di paruh pertama tahun ini?” Jawaban saya mungkin tidak akan penuh prestasi besar atau pencapaian luar biasa. Tapi banyak hal yang tetap patut dirayakan dan disyukuri.

Sebagai ibu, ada momen-momen sederhana yang membuat hati hangat. Melihat anak tertawa lepas saat bermain, mendengar ia bertanya hal-hal kecil yang membuat saya berpikir dua kali untuk menjawabnya. Momen remeh yang kadang terlewat, tapi ternyata membuat jiwa saya penuh pelan-pelan.

Sebagai dosen, saya belajar banyak dari mahasiswa sendiri. Dari antusiasme mereka di kelas microteaching, dari hangatnya diskusi dan refleksi di kelas kompetensi guru PAI, dari pandangan mereka tentang kurikulum negara ini di kelas Pengembangan kurikulum. Mereka "memaksa" saya untuk lebih banyak membaca, lebih banyak belajar.

Sebagai perempuan, sebagai Mita, saya melewati hari-hari naik turun emosi, mengatur waktu antara pekerjaan, rumah, dan... diri sendiri. Ada hari-hari di mana saya merasa cukup kuat untuk menaklukkan dunia, dan ada juga hari di mana mencuci piring saja terasa berat. Ada hari-hari saat saya sehat dan stamina saya sanggup mengerjakan banyak pekerjaan rumah dalam satu waktu, ada saatnya saya hanya bisa terbaring tak bisa apa-apa karena asam lambung atau sakit kepala. Tapi semua itu tetap bagian dari hidup saya yang terus berjalan.

Di tengah semua itu, ada juga hal-hal yang belum tercapai. Target menulis blog rutin, misalnya. Atau proyek-proyek kreatif yang masih tersimpan di draft. Tapi semakin ke sini, saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Karena ternyata, menjadi manusia bukanlah tentang selalu berhasil, tapi tentang selalu mencoba.

Pelajaran yang saya petik

Setengah tahun ini mengajarkan saya bahwa hidup bukan soal seberapa banyak yang kita capai, tapi bagaimana kita hadir penuh dalam setiap langkah yang kita jalani.

Saya juga berdamai dan membuat kesepakatan dengan diri sendiri. Tidak membiarkan diri dan pikiran saya dipenuhi penyesalan tentang masa lalu, tidak mau digundahkan oleh masa depan yang belum saya tahu. Saya membawa diri saya untuk “hadir” di masa sekarang. Fokus pada apa yang ada di depan mata. Fokus untuk menikmati hal-hal baik yang terjadi saat ini.

Menikamati ngobrol random ngalor-ngidul dengan suami, menikmati mengusap kepala dan pillow talk dengan anak kami menjelang tidur, menikmati slow morning dengan menggaruk punggung, memeluk dan menciumnya saat bangun tidur. Menikmati segarnya mandi pagi, hangatnya teh dan roti, ngefansgirl, nonton drakor dan drachin. Menikmati sorot mata anak kami yang berbinar saat ia bercerita tentang game-game yang sedang dimainkan, juga menikmati tawa-tawa receh kami di sebuah kafe di sore hari. Saya ingin menikmati masa sekarang seolah dunia tak perlu tergesa. Menikmati setiap momen kecil, yang justru menjelma jadi kebahagiaan paling utuh.

Saya belajar bahwa istirahat itu bukan bentuk kemunduran, tapi bagian penting dari proses bertumbuh. Saya belajar bahwa membiarkan sesuatu selesai dengan perlahan tidak membuat kita lemah, justru menguatkan. Karena butuh keberanian untuk menolak tekanan dari standar yang seringkali bukan kita yang menciptakannya.

Saya juga belajar bahwa menjadi produktif tidak selalu berarti menghasilkan banyak. Tapi lebih kepada: apakah yang saya lakukan hari ini bermakna? Apakah itu membuat saya lebih baik, lebih tenang, lebih ikhlas?

Dan pelajaran terbesarnya mungkin adalah: menerima. Menerima bahwa saya punya batas. Menerima bahwa tidak semua hal bisa saya kendalikan. Dan di titik itu, saya belajar berserah dengan cara yang sehat, bukan pasrah, tapi tetap bergerak walau pelan.

Harapan untuk 6 Bulan ke Depan

Kalau boleh minta, saya ingin enam bulan ke depan terasa lebih ringan.

Bukan karena bebannya berkurang, tapi karena hati saya lebih lapang.

Bukan karena waktu tiba-tiba jadi longgar, tapi karena saya lebih mampu memilah mana yang penting dan mana yang bisa ditunda.

Saya ingin lebih hadir. Dalam setiap tawa anak saya. Dalam setiap sesi kuliah yang saya ampu. Dalam setiap tulisan yang saya tulis.

Saya juga ingin menepati janji pada diri sendiri. Untuk tetap menulis, bukan demi angka pembaca atau pageviews, tapi demi kewarasan batin. Karena nulis itu memang healing terbaik saya. Setiap kata adalah cara untuk berdamai dengan isi kepala yang ramai.

Dan tentu saja, saya ingin tetap jadi versi terbaik diri saya. Yang bisa menangis saat lelah, tapi juga bisa tersenyum esok harinya dan kembali bersemangat.

Kadang saya merasa neuron-neuron di kepala saya seperti simpang siur, berlomba memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Ada saat-saat saya merasa usia 36 ini sudah cukup tua -terlambat untuk mengejar banyak hal, terlambat untuk memulai sesuatu. Tapi di waktu yang lain, hati saya berbisik: forever we are young. Usia 36 bukan tua, apalagi terlambat. Itu justru masa ketika kita mulai benar-benar mengenal diri sendiri: apa yang kita suka, apa yang bikin kita gemetar excited, dan apa yang layak kita perjuangkan.

Saya masih bisa bergembira saat menonton anime kesukaan, masih bisa tertawa dan fangirling seperti remaja, masih gemetar tiap kali membayangkan impian untuk kuliah S3, masih ingin belajar bahasa Inggris, Korea, bahkan Mandarin. Kadang saya merasa aneh dengan diri saya sendiri. Tapi pelan-pelan saya belajar menerima bahwa mungkin...saya bukan sedang bingung, saya hanya sedang mekar -di banyak arah, di waktu yang bersamaan. Dan itu tak apa. Karena menjadi dewasa tidak harus berarti kehilangan sisi anak-anak yang penuh harap. Mungkin, ini yang disebut “hidup sepenuhnya”.

Kalau kamu juga pernah merasa otakmu riuh, itu karena ada banyak cahaya di sana. Banyak keinginan, banyak ide, banyak gairah. Saya ingin mengatakan pada diri saya sendiri, “You’re not lost, Mita. You’re just blooming in all directions at once.”

----------------------

Dan setengah tahun sudah lewat. Tidak apa-apa kalau belum semua tercapai. Tidak apa-apa kalau ada hari-hari yang terasa gagal. Yang penting kita tidak berhenti.

Hidup bukan perlombaan cepat-cepatan. Kadang kita hanya perlu melangkah pelan, tapi konsisten. Kadang kita butuh duduk sebentar, menarik napas dalam, sebelum lanjut lagi.

Juli ini, saya ingin mengajak teman-teman juga untuk refleksi kecil. Apa kabar kamu sejauh ini? Sudah cukupkah kamu memeluk dirimu sendiri?

Dan jika ada satu hal yang bisa kita sepakati hari ini, mungkin ini:

Setengah jalan sudah dilewati. Sisanya akan kita hadapi bersama, dengan semangat baru, dengan harapan baru, dan dengan lebih banyak kasih untuk diri sendiri.

Terima kasih sudah membaca.

Kalau kamu, bagaimana perjalananmu di enam bulan pertama 2025 ini?

Ketika Perayaan Jadi Pertanyaan

Apa kabar teman-teman hari ini? Lagi libur cuti bersama jugakah?  Hari ini, 18 Agustus, ditetapkan sebagai cuti bersama dalam rangka ulang t...