Refleksi Tengah Tahun Seorang Ibu, Dosen, dan Perempuan Biasa yang Masih Belajar
Hy, everyone, welcome to July.
Rasanya baru kemarin ya, kita merayakan euforia tahun baru, sibuk
bikin resolusi awal tahun, dan nulis quote harapan-harapan manis di awal
Januari. Dan tiba-tiba, taraaa.... setengah tahun sudah kelar aja. Saat kita
sibuk “bertahan hidup”, waktu ternyata nggak cuma bergulir, tapi melesat
cepat.
Ibaratnya kita naik sepeda melewati turunan, kita fokus
menyeimbangkan diri, menjaga agar nggak jatuh, sampai lupa menikmati
pemandangan sekitar. Dan Juli, datang sebagai alarm. “Sudah setengah jalan,
mau lanjut kemana?”.
Kalau ditanya, “Apa yang sudah terjadi di paruh pertama tahun ini?”
Jawaban saya mungkin tidak akan penuh prestasi besar atau pencapaian luar
biasa. Tapi banyak hal yang tetap patut dirayakan dan disyukuri.
Sebagai ibu, ada momen-momen sederhana yang membuat hati hangat.
Melihat anak tertawa lepas saat bermain, mendengar ia bertanya hal-hal kecil
yang membuat saya berpikir dua kali untuk menjawabnya. Momen remeh yang kadang
terlewat, tapi ternyata membuat jiwa saya penuh pelan-pelan.
Sebagai dosen, saya belajar banyak dari mahasiswa sendiri. Dari
antusiasme mereka di kelas microteaching, dari hangatnya diskusi dan refleksi
di kelas kompetensi guru PAI, dari pandangan mereka tentang kurikulum negara
ini di kelas Pengembangan kurikulum. Mereka "memaksa" saya untuk lebih banyak membaca, lebih banyak belajar.
Sebagai perempuan, sebagai Mita, saya melewati hari-hari naik turun
emosi, mengatur waktu antara pekerjaan, rumah, dan... diri sendiri. Ada
hari-hari di mana saya merasa cukup kuat untuk menaklukkan dunia, dan ada juga
hari di mana mencuci piring saja terasa berat. Ada hari-hari saat saya sehat
dan stamina saya sanggup mengerjakan banyak pekerjaan rumah dalam satu waktu, ada
saatnya saya hanya bisa terbaring tak bisa apa-apa karena asam lambung atau
sakit kepala. Tapi semua itu tetap bagian dari hidup saya yang terus berjalan.
Di tengah semua itu, ada juga hal-hal yang belum tercapai. Target
menulis blog rutin, misalnya. Atau proyek-proyek kreatif yang masih tersimpan
di draft. Tapi semakin ke sini, saya belajar untuk tidak terlalu keras pada
diri sendiri. Karena ternyata, menjadi manusia bukanlah tentang selalu
berhasil, tapi tentang selalu mencoba.
Pelajaran yang saya petik
Setengah tahun ini mengajarkan saya bahwa hidup bukan soal seberapa
banyak yang kita capai, tapi bagaimana kita hadir penuh dalam setiap langkah
yang kita jalani.
Saya juga berdamai dan membuat kesepakatan dengan diri sendiri.
Tidak membiarkan diri dan pikiran saya dipenuhi penyesalan tentang masa lalu,
tidak mau digundahkan oleh masa depan yang belum saya tahu. Saya membawa diri
saya untuk “hadir” di masa sekarang. Fokus pada apa yang ada di depan mata.
Fokus untuk menikmati hal-hal baik yang terjadi saat ini.
Menikamati ngobrol random ngalor-ngidul dengan suami, menikmati mengusap
kepala dan pillow talk dengan anak kami menjelang tidur, menikmati slow morning
dengan menggaruk punggung, memeluk dan menciumnya saat bangun tidur. Menikmati segarnya
mandi pagi, hangatnya teh dan roti, ngefansgirl, nonton drakor dan drachin. Menikmati
sorot mata anak kami yang berbinar saat ia bercerita tentang game-game yang
sedang dimainkan, juga menikmati tawa-tawa receh kami di sebuah kafe di sore
hari. Saya ingin menikmati masa sekarang seolah dunia tak perlu tergesa. Menikmati
setiap momen kecil, yang justru menjelma jadi kebahagiaan paling utuh.
Saya belajar bahwa istirahat itu bukan bentuk kemunduran, tapi
bagian penting dari proses bertumbuh. Saya belajar bahwa membiarkan sesuatu
selesai dengan perlahan tidak membuat kita lemah, justru menguatkan. Karena
butuh keberanian untuk menolak tekanan dari standar yang seringkali bukan kita
yang menciptakannya.
Saya juga belajar bahwa menjadi produktif tidak selalu berarti
menghasilkan banyak. Tapi lebih kepada: apakah yang saya lakukan hari ini
bermakna? Apakah itu membuat saya lebih baik, lebih tenang, lebih ikhlas?
Dan pelajaran terbesarnya mungkin adalah: menerima. Menerima bahwa saya
punya batas. Menerima bahwa tidak semua hal bisa saya kendalikan. Dan di titik
itu, saya belajar berserah dengan cara yang sehat, bukan pasrah, tapi tetap
bergerak walau pelan.
Harapan untuk 6 Bulan ke Depan
Kalau boleh minta, saya ingin enam bulan ke depan terasa lebih
ringan.
Bukan karena bebannya berkurang, tapi karena hati saya lebih
lapang.
Bukan karena waktu tiba-tiba jadi longgar, tapi karena saya lebih
mampu memilah mana yang penting dan mana yang bisa ditunda.
Saya ingin lebih hadir. Dalam setiap tawa anak saya. Dalam setiap
sesi kuliah yang saya ampu. Dalam setiap tulisan yang saya tulis.
Saya juga ingin menepati janji pada diri sendiri. Untuk tetap
menulis, bukan demi angka pembaca atau pageviews, tapi demi kewarasan batin.
Karena nulis itu memang healing terbaik saya. Setiap kata adalah cara untuk
berdamai dengan isi kepala yang ramai.
Dan tentu saja, saya ingin tetap jadi versi terbaik diri saya. Yang
bisa menangis saat lelah, tapi juga bisa tersenyum esok harinya dan kembali bersemangat.
Kadang saya merasa neuron-neuron di kepala saya seperti simpang
siur, berlomba memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Ada saat-saat saya
merasa usia 36 ini sudah cukup tua -terlambat untuk mengejar banyak hal,
terlambat untuk memulai sesuatu. Tapi di waktu yang lain, hati saya berbisik: forever
we are young. Usia 36 bukan tua, apalagi terlambat. Itu justru masa ketika kita
mulai benar-benar mengenal diri sendiri: apa yang kita suka, apa yang bikin kita
gemetar excited, dan apa yang layak kita perjuangkan.
Saya masih bisa bergembira saat menonton anime kesukaan, masih bisa
tertawa dan fangirling seperti remaja, masih gemetar tiap kali membayangkan
impian untuk kuliah S3, masih ingin belajar bahasa Inggris, Korea, bahkan
Mandarin. Kadang saya merasa aneh dengan diri saya sendiri. Tapi pelan-pelan saya
belajar menerima bahwa mungkin...saya bukan sedang bingung, saya hanya sedang
mekar -di banyak arah, di waktu yang bersamaan. Dan itu tak apa. Karena menjadi
dewasa tidak harus berarti kehilangan sisi anak-anak yang penuh harap. Mungkin,
ini yang disebut “hidup sepenuhnya”.
Kalau kamu juga pernah merasa otakmu riuh, itu karena ada banyak
cahaya di sana. Banyak keinginan, banyak ide, banyak gairah. Saya ingin
mengatakan pada diri saya sendiri, “You’re not lost, Mita. You’re just blooming
in all directions at once.”
----------------------
Dan setengah tahun sudah lewat. Tidak apa-apa kalau belum semua
tercapai. Tidak apa-apa kalau ada hari-hari yang terasa gagal. Yang penting
kita tidak berhenti.
Hidup bukan perlombaan cepat-cepatan. Kadang kita hanya perlu
melangkah pelan, tapi konsisten. Kadang kita butuh duduk sebentar, menarik
napas dalam, sebelum lanjut lagi.
Juli ini, saya ingin mengajak teman-teman juga untuk refleksi
kecil. Apa kabar kamu sejauh ini? Sudah cukupkah kamu memeluk dirimu sendiri?
Dan jika ada satu hal yang bisa kita sepakati hari ini, mungkin
ini:
Setengah jalan sudah dilewati. Sisanya akan kita hadapi bersama, dengan
semangat baru, dengan harapan baru, dan dengan lebih banyak kasih untuk diri
sendiri.
Terima kasih sudah membaca.
Kalau kamu, bagaimana perjalananmu di enam bulan pertama 2025 ini?
No comments:
Post a Comment