Ketika Perayaan Jadi Pertanyaan

Apa kabar teman-teman hari ini? Lagi libur cuti bersama jugakah? 

Hari ini, 18 Agustus, ditetapkan sebagai cuti bersama dalam rangka ulang tahun negeri tercinta. Semestinya cuti bersama jadi waktu untuk beristirahat, bersyukur, atau bahkan merayakan. Tapi entah kenapa, di kepala saya justru berisik sekali. Banyak hal yang berseliweran, tapi sulit  untuk dirangkai dengan runut.

Mungkin ini karena saya menyimpan terlalu banyak kekecewaan. Tapi bukankah kekecewaan justru lahir dari kepedulian? Karena jika tak lagi peduli, kita tak akan kecewa, kita tak akan marah, tak akan menulis, tak akan bersuara.

Saya ingin sekali merayakan hari besar ini dengan hati yang penuh suka cita, bangga, dan rasa syukur. Namun bagaimana mungkin, ketika hampir setiap hari kita disuguhi kabar-kabar yang membuat dahi berkerut tentang negeri tercinta ini?

Kebebasan berekspresi kian dibatasi. Mengibarkan bendera sebuah anime dicap tidak nasionalis. Padahal, jika saja kita mau jujur, justru mereka yang mengibarkan bendera One Piece itu menunjukkan nasionalisme dengan cara paling jujur.

Mereka tidak sekadar menonton serial anime populer itu. Mereka menyimak dengan seksama, menemukan benang merah antara kisah fiksi dengan kenyataan di negeri ini. Lalu, dengan selembar kain, mereka menyuarakan protes. Tanpa teriakan, tanpa kerusuhan, hanya simbol sederhana.

Itulah nasionalisme dalam bentuk yang mungkin tak lazim, keberanian bersuara dengan cara damai. Sebuah kritik halus yang lahir dari cinta, karena mereka masih peduli pada negeri ini.

Sementara di sisi lain, gaji anggota DPR justru naik di tengah gembar-gembor efisiensi. Saat rakyat dipajaki hingga ke napas mereka sendiri. Saat guru dianggap beban negara, karena mereka menuntut digaji layak. Padahal yang merampas anggaran, yang menggerogoti pajak rakyat, justru mereka yang berkedudukan tinggi. Sementara rakyat bergulat dengan harga sembako makin melambung tinggi, menghantui meja makan setiap keluarga saban hari. Sebuah ironi yang terlalu nyata untuk diabaikan.

Di balik layar, persoalan tambang terus merusak lingkungan, menelanjangi hutan, mencemari air, dan menyingkirkan masyarakat adat dari tanah leluhur mereka. Dengan dalih pengembangan wisata, masyarakat kehilangan mata pencarian dan tanah ulayatnya. 

Statistik pun tak kalah manipulatif; angka pengangguran dipoles, data kemiskinan direkayasa, hanya agar terlihat indah di laporan resmi. Namun realitas berbicara lain. Banyak yang kehilangan pekerjaan, banyak yang harus pasrah pada PHK, banyak yang menggantungkan hidup pada nasib. 

Rayakan Apa?

Pertanyaan yang terus muncul di kepala saya sangat sederhana: apa yang sebenarnya kita rayakan?

Apakah kita merdeka dari penjajahan asing, namun kini dijajah oleh pemerintah? Apakah kita merdeka hanya di kalender, tetapi terkungkung di kehidupan nyata? Atau kita sebenarnya sedang merayakan ilusi, di mana panggung meriah menutupi kenyataan getir rakyat sehari-hari?

Saya percaya, banyak orang yang merasakan hal sama. Kita ingin merayakan ulang tahun negeri dengan hati lega, tapi bagaimana bisa? Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dikumandangkan, pidato demi pidato disampaikan. Namun setelah itu, kita kembali ke realita, berhadapan dengan harga beras dan sembako, dan masa depan negeri yang semakin buram saja.

Kekecewaan Adalah Cinta

Meski begitu, saya tidak ingin berhenti di rasa marah. Karena marah saja tidak cukup. Di balik semua kekecewaan ini, ada satu hal yang harus saya akui, saya menulis karena saya teramat mencintai negeri ini.

Ya, saya kecewa karena saya peduli. Saya bersuara bukan karena benci, tapi karena tidak rela melihat negeri ini semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan.

Saya yakin, rasa cinta yang jujur pada negeri ini bukanlah dengan selalu setuju pada pemerintah. Justru cinta itu diuji saat kita berani mengkritik, mengingatkan, bahkan menolak kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Kalau kita diam, kalau kita ikut berpesta dalam ketidakadilan, bukankah itu artinya cinta kita palsu? Fake love banget nggak sih?!

Cinta pada negeri bukan hanya dengan berdiri tegak di upacara, tapi juga dengan menulis kalimat-kalimat sederhana. Dengan bersuara, sekecil apapun. Dengan menyimpan api harapan, meski kadang terasa percuma.

Saya tahu, banyak orang sudah lelah. Banyak yang memilih untuk pasrah, untuk tidak peduli lagi. Tapi saya percaya, harapan tak boleh padam. Karena negeri ini tidak hanya milik pejabat yang sibuk mengatur kepentingannya sendiri. Negeri ini milik kita semua, rakyat yang setiap hari berjuang untuk melanjutkan hidup.

Mungkin suara kita kecil. Mungkin tulisan kita tak akan sampai ke meja para penguasa. Tapi siapa tahu, dari suara-suara kecil itu lahir gelombang besar yang bisa mengubah arah.

Hari ini, saya memilih untuk tetap menulis. Bukan karena optimis segalanya akan segera berubah, tapi karena ingin meninggalkan jejak kecil bahwa saya pernah peduli, bahwa saya tidak tinggal diam.

Menutup Perayaan dengan Pertanyaan

Jadi, di hari ulang tahun negeri ini, saya memilih untuk tidak berpesta. Tapi memilih untuk bertanya.

Apa yang sebenarnya kita rayakan?

Merdeka dari siapa?

Dijajah oleh apa?

Dan mungkin, inilah cara saya merayakan ulang tahun negeri tercinta ini, bukan dengan pesta meriah, bukan dengan lomba tujuh belasan, tapi dengan kata-kata sederhana. Dengan kalimat yang lahir dari rasa cinta, meski bercampur kecewa.

Ketika Perayaan Jadi Pertanyaan

Apa kabar teman-teman hari ini? Lagi libur cuti bersama jugakah?  Hari ini, 18 Agustus, ditetapkan sebagai cuti bersama dalam rangka ulang t...